Skip to content

Yahudi (memang) hanya untuk Yahudi

January 3, 2010
tags: ,

www.otokun.netSUATU hari, ketika perjalanan pulang dari kantor menuju Bekasi, saya mendengar sebuah renungan yang disiarkan oleh Radio Dakta 107 FM tentang seorang Yahudi yang sedang menginap di sebuah hotel berbintang 5. Renungan yang dibawakan oleh ustad muda, Bagus Hernowo, sangat menyentuh hati saya. Ini lah yang mendorong saya menceritakan kembali renungan tersebut. Mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun. (Tulisan di bawah ini tidak persis sama dengan yang diucapkan oleh Ustad Bagus. Lebih banyak improvisasi dari penulis).

Ustad Bagus menceritakan  kisah seorang Yahudi yang sedang diburu waktu untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis yang sangat  penting. Yahudi ini kemudian memanggil pegawai hotel agar dicarikan sebuah taksi. Dengan sigap pegawai hotel memanggil sebuah taksi yang paling baik pelayanannya.

Ternyata orang Yahudi ini menolak taksi yang disodorkan kepadanya. “Carilah taksi yang lain, yang lebih baik dari yang ini”, katanya tanpa merinci taksi seperti apa. Kemudian pegawai hotel ini pun mencari taksi lain. Selang beberapa menit kemudian muncul taksi yang lebih baik dari yang pertama. Lagi-lagi orang Yahudi ini menolak taksi tersebut. Penolakan terus berlangsung sampai taksi yang kesembilan tanpa memberikan alasan yang jelas.

Dengan perasaan jengkel dan putus asa, akhirnya pegawai hotel sembarangan mencegat taksi yang ada tanpa pilih-pilih lagi. Muncullah sebuah taksi yang selama ini diboikot oleh manajemen hotel karena dianggap sering mencurangi pelanggan dan kualitas pelayanannya pun sangat mengecewakan. Namun saking kesalnya terhadap orang Yahudi yang dianggap telah bermain-main dengannya, pegawai hotel ini mengabaikan larangan manajemen. Akhirnya taksi tersebut diminta masuk lobby hotel. “Rasain luh ! Gua kasih taksi abal-abal,” gumamnya dalam hati.

Namun tak disangka-sangka,  orang Yahudi ini justeru sangat berterima kasih karena telah menemukan taksi yang diinginkannya. Tentu saja pegawai hotel sangat terkejut menerima respon gembira dari tamunya. Padahal dia sudah siap-siap menerima sumpah serapah dan caci maki. Karena penasaran, ia pun bertanya:

“Tuan, mengapa memilih taksi ini ? Padahal semua tamu hotel di kota kami menolak menggunakannya. Taksi ini sudah terkenal kecurangannya dan kualitas pelayanannya pun sangat rendah. Apa alasan tuan memilihnya ?” tanya pegawai hotel dengan penuh keheranan.

”Saya tidak tahu siapa pemilik taksi sebelumnya. Namun taksi yang terakhir saya tahu persis pemiliknya adalah seorang Yahudi, walaupun saya tidak mengenalnya secara pribadi.” jawab orang Yahudi itu dengan mantabz (gak pake p saking gembiranya). Tanpa ragu-ragu ia masuk ke dalam taksi. Beberapa saat kemudian taksi itu pun melesat dengan cepat menembus kemacetan kota.

Apa yang bisa ditarik dari cerita ini ? Ternyata orang Yahudi sudah cukup lama memboikot produk bangsa di luar Yahudi. Seakan-akan mereka ingin memastikan bahwa tidak ada satu sen pun uang keluar untuk orang lain. Sejelek apa pun barang yang diproduksi bangsanya, mereka akan menggunakannya. Tidak peduli barang buatan bangsa lain jauh lebih bagus kualitasnya.

Bagaimana dengan kita ? Kayaknya kita perlu intropeksi diri lebih dalam. Kenyataannya sangat berbeda jauh dengan cerita orang Yahudi tadi. Baru mewacanakan pemboikotan barang produk Yahudi dan kawan-kawannya saja, kita sudah ribut tidak kepalang tanggung. Ada yang mengatakan melanggar AFTA-lah, melanggar etika international trading, bahkan ada yang mengatakan melanggar nilai-nilai universal HAM. Padahal negara-negara Barat dan Israel sudah lama memboikot barang-barang produk kita.

Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh salah seorang staf khusus Presiden SBY yang mengatakan bahwa bangsa ini mengidap penyakit inferior yang akut, yaitu rendahnya rasa percaya diri ketika berhadapan dengan bangsa lain. Ketika mereka meminta emas di Papua, kita berikan. Batubara di Kalimantan kita berikan juga. Minyak dan sumber daya alam lainnya, tak terkecuali kita beri mereka dengan harga yang tidak sepadan. Tapi ketika kita minta dari mereka, jalan panjang dan terjal harus dilalui untuk memperolehnya. Dan, anehnya kita masih bangga karena dipercaya dapat barang yang tidak sepadan nilainya dengan pengorbanan yang telah diberikan.

Apa yang hilang dari negeri ini ? Mungkin jawabannya adalah kebanggan sebagai suatu bangsa. Sudah lama nilai-nilai budaya luhur hilang dari ingatan kolektif bangsa ini. Nilai-nilai ini kemudian digantikan oleh nilai-nilai global yang tercermin dari perilaku keseharian kita. Kebanggaan akan rasa nasionalisme semakin lama hilang.

Mungkin banyak diantara kita yang sudah lupa lirik dan syair lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ketika televisi belum sebanyak sekarang, TVRI senantiasa mengudarakan lagu kebangsaan setiap saat. Saya pun baru ingat lagu kebangsaan ini kalau diundang oleh para aktivis mahasiswa. Sebelum acara, biasanya mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat. Mungkin ada baiknya kita pun belajar dari adik-adik mahasiswa tentang kebanggaan terhadap negeri. Jangan-jangan kita juga lupa sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Seandainya betul sudah lupa, maka jangan salahkan kalau banyak tragedi di negeri ini. Karena kita sudah lama melupakan warisan para pendiri dan pejuang bangsa.

Akhirul kalam, tulisan ini tidak bermaksud untuk memprovokasi pembaca yang sangat benci dengan perlakuan Yahudi terhadap rakyat Palestina. Tapi tidak berarti dari orang yang kita benci, tidak ada pelajaran yang bisa kita tiru. Cerita orang Yahudi di atas, mengajarkan kepada kita untuk lebih menghargai dan menghormati karya negeri sendiri. Kita akan besar karena keikhlasan untuk saling membantu diantara satu bangsa bukan karena tergantung dari bangsa lain. Semoga ada manfaatnya.

 

Dari Kemang Pratama Bekasi – 3/1/2010

No comments yet

Leave a comment